More Categories

Sabtu, 20 Juni 2020

Kisah Lucu | Asyiknya Nonton Filem di Bioskop Tahun 80-an

- Tidak ada komentar



Penulis ingat akan pengalaman pertama-tama tonton filem di gedung bioskop pada masa tahun 80-an, saat itu masih duduk dibangku SMA dalam suatu kota kecil di Kalimantan Barat. Saat SMA di zaman penulis, mana ada yang istilahnya uang jajan. Uang yang diantar orang-tua dari kampung itu telah satu paket, seperti uang kuliah tunggal saja atau UKT. Kitalah yang pintar-pintar mengelolanya supaya cukup makan dalam sebulan.

Gedung bioskop tempat biasa orang tonton itu dipunyai oleh Bank Pembangunan Wilayah atau BPD. Gedung bioskop ini adalah salah satu lokasi hiburan umum di kota kecil kami pada saat itu. Saat itu belumlah ada caf-caf, tempat karaoke, serta tipe selingan yang lain. Hingga bioskop ini tetap ramai, lebih-lebih lagi bila di saat malam minggu.

Sebab masih kurang uang untuk beli ticket, penulis belum pernah melihat di gedung bioskop itu. Walau sebenarnya seingat penulis, harga tiketnya cuma Rp. 150. saja. Tapi yang namanya rezeki, di saat mendekati malam minggu itu, seorang kawan yang kebetulan kost di tempat salah satunya pejabat BPD, ajak kami melihat. Gratis, tis...tis...tis. Hanya masuknya sesudah pintu bioskop ditutup. Jika ada kursi, ya duduk. Bila kursi penuh, karena itu kami akan berdiri saja.

Jika tidak salah, judul filmnya ialah Enter the Dragon, yang diperankan oleh Bruce Lee. Beberapa waktu awalnya kawan ini telah begitu semangat bercerita pada kami mengenai kedahsyatan Bruce Lee. Saya cuma diam saja, sebab memang hingga saat itu tidak pernah melihat filem. Jadi saya tidak paham siapa itu Bruce Lee. Ditambah lagi di zaman kami SMA itu belumlah ada mass media serta elektronik seperti saat ini, jadi sumber info itu benar-benar terbatas.

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

Malam minggupun datang. Sesudah pintu bioskop di tutup, karena itu kami ada 5 orang dibawa kawan ini masuk. Kami berlima bediri bersama-sama berpuluh-puluh orang yang rupanya masuk juga gratis, sebab indekost dengan pejabat BPD yang lain. Sayapun awalannya cukup ketidaktahuan lihat di gelap gulita. Memang ruang untuk tonton bioskop itu inilah, bisik kawan yang pernah tonton. Supaya filemnya dapat nampak secara jelas.

Saya lihat dilayar ada satu sepeda motor dari satu brand sedang naik dalam tempat yang cukup curam. Asap tebal dari knalpotnya penuhi jalan serta pada akhirnya berhenti ditengah-tengah jalan. Selanjutnya melalui lagi satu brand sepeda motor yang lain, ia meluncur saja tidak dipengaruhi dengan terjalnya jalan dan tanpa ada asap. Ia cuma melirik saja saat memangkas pengendara motor yang berhenti barusan.

Itu filemnya? Tanyaku pada kawan dengan berbisik. Bukan, itu mana senang tayangan niaga. Rupanya makna kalimat mana senang tayangan niaga itu ialah arti untuk iklan atau promo atau advertisement yang diketahui pada zaman saat ini. Baru saya ingat saat ini, ke-2 brand sepeda motor itu berkompetisi dalam penjualannya sampai ini.

Mari, diam. Filemnya telah mulai, bisik kawan yang berdiri di samping barusan. Sayapun dengan serius memerhatikannya. Ceritanya tidak jauh dari bak-bik-buk, namanya filem Kung Fu, bukan film India yang berjoget dahulu baru berantem. Sesudah beberapa lama, pemirsa dalam bioskop yang duduk itu pada berdiri semua. Lalu mereka bertepuk tangan dengan bising, serta ada yang berteriak-teriak kegirangan. Sayapun ikutan bertepuk tangan sebab lihat teman-teman bertepuk tangan. Saya pikirkan itu ialah tata langkah melihat film di bioskop, rupanya itu ialah rutinitas di waktu itu saat pendekarnya telah tiba.

Sesudah filem selesai, pemirsa juga pada keluar. Saya lihat, sebagian besar pemirsa lelaki, lebih-lebih yang beberapa anak muda menggerak-gerakan tangan mereka mengikuti style di filem barusan. Kemungkinan semua telah berasa diri seperti pendekar barusan (baca: Bruce Lee).

Sampai ke asrama juga, telah tengah malam penulis tidak dapat tidur. Tetap teringat gerak-gerakan di film itu serta akan kedahsyatan pendekarnya. Fundamen penulis memang anak dari kampung, walau sebenarnya itu toh hanya film. Bukan satu cerita riil.

Mati Ketawa ala Webinar

- Tidak ada komentar



Selama saat epidemi ini pekerjaan seminar banyak dilaksanakan lewat daring (online). Akronimnya "webinar" atau situs seminar. Ditengok dari jumlah sertifikat (persisnya e-sertifikat), saya dapat 3, meskipun sebetulnya lebih dari pada itu yang saya turuti. 

Kira saja sampai 7 gitulah. Belum ditambah bertemu online, seperti reuni, halal bi halal, atau pidato tokoh spesifik.

Ada banyak cerita lucu saat saya ikuti webinar itu. Saya cuplik 7 saja, sebab 7 dalam bahasa jawa ialah PITU. Berarti pitu-lungan (pertolongan), sekaligus untuk pitu-tur (perbincangan). Cekidot...

1. Basa basinya wong ngendonesa itu hlo, kagak nguwatin. Walau sebenarnya saatnya sudah dipastikan webinar semasa 2 jam. Yang lama justru sisi pembukaannya. 

Ada pidato dari petinggi yang sebagai wakil universitas, ada yang sebagai wakil lembaga. Selanjutnya sebelumnya ada MC, ada panitia yang membacakan peraturan, lalu ada moderatornya . 

Lama kan. Jadi waktu molor lebih dari pada dua jam, serta menyalahi waktu sholat (saat itu azan zuhur). Telah tahu molor, masih ditutup dengan........ doa.

Doanya lama . Kecuali mendoakan seminar, pengurus, panitia, dunia akhirat. Untung tidak nyebutin nama peserta satu-satu.

2. Masih masalah basa-basi. Ada pembicara yang kami nantikan pikirannya, tetapi ada 30 % presentasi ia masalah...... perkataan terima kasih. Seperti kata sisi "ikut mengundang" di undangan, ia sebutin semua yang kira-kira berperanan penting. Walau sebenarnya slides banyak. Baru 1/2 paparan disingkap, moderator memperingatkan waktu hampir habis.

3. Sempat turut tempat bersilahturahmi, hla moderatornya gunakan Zoom yang gratisan. Tiba-tiba 40 menit mati. Diulangi lagi, trus 40 menit mati lagi. Sebetulnya tidak 40 menit mentok sich, malah semakin lebih sedikit. 

Soalnya.... pekerjaan yang lama serta kuras perhatian yakni masukin sandid-nya. Kemungkinan memang agar semakin private kali ya, sandid-nya dibuat sulit. Efeknya, peserta masukin sandi lama. Setiap 1/2 jam, ulang kembali.

4. Sempat bertandang ke seorang petinggi di kementerian, waktu masuk dalam ruangnya rupanya lagi tele conference. Gantian beliau nampaknya telah usai, lalu masukin tamu. Beliau diketahui dengan suara kencang.

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

Ini yang keliru moderatornya sich, demikian yang berkaitan usai ngomong, rupanya mik belum di-mute oleh moderatornya. Diketahui jika nyambi, turut conference ama terima tamu.

5. Sisi akhir yang sangat dinanti ialah sertifikat. Ada panitia yang memerintah peserta untuk menulis di kotak kometar berkaitan nama, asal lembaga, serta alamat e-mail.

Ada peserta yang sepertinya kurang percaya bisa atau mungkin tidak, jadi setiap kali tukar session (tukar pembicara) ia catat nama, selanjutnya cocok session penutupan ditambah "Nama.... Asal.... Alamat e-mail..... Turut dari session pembukaan sampai penutupan". 

Tambahannya itu yang buat peserta lain jadi turut ikut-ikutan, pada menulis . Sampai selanjutnya satu hari selanjutnya dikirim link sertifikat, rupanya....nama kosong. Jadi peserta suruh ngisi nama sendiri.

6. Ingin awak nih ikut-ikutan seminar internasional. Waktu saya daftar, rupanya untuk orang Indonesia telah dibatasi. Acara menyertakan 3 negara atau 3 universitas. 

Kecuali Indonesia ialah Malaysia serta Azerbaijan. Sebab full, lalu saya iseng-iseng saja masukin negara asal "Azerbaijan" saja. Siapa tahu dapat (walau sebenarnya nama Jawa, walaupun ada faktor ke-Arab-araban). Rupanya dapat masuk.

7. Jika ini yang apes saya. Turut seminar cocok session bertanya jawab. Saya telah matiin video, agar muka tidak terlihat.

Ada satu penanya yang lama ngomongnya. Kok dibandingin sama pembicara justru lamaan ia yang nanya. Moderatornya tidak berupaya hentikan. Walau sebenarnya habis itu giliranku menanyakan.

Sebab merasakan aman, muka tidak terlihat, lalu kuinterupsi saja, "Kelamaan, Pak," demikian saya katakan. Untung beliau langsung sadar, serta saya merasakan aman sebab muka tidak tampil live.

Tetapi saat dua hari selanjutnya dikirimi link Youtube-nya sama panitia, rupanya setiap ada yang bernada langsung njedhul, walau ngomong hanya sesaat. Serta batuk saja juga keluar nama.

Jadi cocok ada perkataan "Kelamaan, Pak." keluarlah nama saya.

Tanpa Helm Vs Tanpa Masker, Mana yang Bakal Dirawat Duluan?

- Tidak ada komentar



Di dusun di jalanan dusun, telah umum lihat orang naik sepeda motor tanpa ada kenakan helm. Tentunya mereka cuma akan melakukan di dusun saja, jika berani njedul di jalan raya dapat berefek terkena tilang Pak Polisi. Jadi cuma jarak dekat saja. Ada yang cari rumput untuk sapi atau kambing piaraannya. Ada yang ke sawah atau kebun.

Waktu waktu epidemi ini, sepertinya masih jarang-jarang lihat orang menggunakan masker di dusun. Terkecuali mereka yang akan naik sepeda motor keluar dusun. Macul di kebon, ya tidak gunakan masker. Mbajak sawah, ya tidak gunakan masker. Manjat pohon kelapa, ya tidak gunakan masker. Yang menjaga ayam di kandang kemungkinan yang justru gunakan masker, untuk kurangi berbau yang tercium.

Beberapa petani kemungkinan termasuk yang taat dengan physical distancing. Orang macul di sawah, kan telah physical distancing, wong maculnya sendirian. Ditambah lagi jika manjat pohon kelapa, buat nderes atau metik kelapa, tentulah physical distancing. Jika ada keramaian memanjat pohon, itu sich lomba manjat pohon pinang buat tujuhbelasan. Cocok lagi musim panen itu kemungkinan yang perlu gunakan masker, sebab umumnya dilaksanakan ramai-ramai.

Pada suatu siaran tv, seorang reporter sedang memberikan laporan situasi di seputar posko satgas covid di jalan raya. Cameramen menyoroti keadaan jalan raya. 

Seorang ibu terlihat memakai sepeda motor, menggunakan masker, tanpa ada menggunakan helm, dengan santainya melalui barisan petugas yang cukup lengkap, dari Satpol PP, Dishub, polisi, tentara. 

Saat sampai di muka Pak Polisi, polisi itu berkata, "Bu, lain waktu gunakan helm ya, Bu..."

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

"Iya, Pak.." jawab ibu itu. Sebab mulut tertutup masker tentunya tidak nampak, tetapi saya memikirkan kemungkinan ibu itu melalui beberapa petugas sekalian tersenyum, serta membatin, "He he.... saat ini kan urusannya lagi masalah masker, bukan helm... Kapan lagi dapat melangkah santuy di muka Pak Polisi tidak gunakan helm...." Emak-emak jika lagi nggleleng tidak dapat ditantang....

Jika di dusun kemungkinan seringkali lihat ibu-ibu memboncengkan satu anak di belakang, sekalian menggendong bayi di muka, kedua-duanya tanpa ada helm serta tanpa ada masker. Terkadang dengan cantelan motor yang penuh barang belanjaan. Jika menyaksikannya di jalan dusun mungkin lah tidak apa. Tetapi waktu menyaksikannya di jalan raya yang ramai dengan hilir mudik kendaraan berkecepatan tinggi, terkadang justru kita yang menyaksikannya jadi trataban.

Pada suatu siaran tv, seorang reporter sedang memberikan laporan situasi jalan raya di jalan raya di satu kota sesudah implikasi PSBB. Cameramen menyoroti keadaan jalan raya. Eh, terlihat seorang pengendara motor dengan santainya, nyelonong tanpa ada helm serta tanpa ada masker. 

Tidak lama, terlihat 2 orang berboncengan sepeda motor, tanpa ada helm serta tanpa ada masker. Serta "klimaksnya" ialah saat 3 orang remaja berboncengan sepeda motor, tanpa ada helm serta tanpa ada masker. 

Nah, ini baru lengkap... No helm, no masker, no physical distancing... Mungkin saja tanpa ada SIM. Jadi nanti jika sampai kecelakaan yang ditolong lebih dulu ialah.... sepeda motornya... Kasihan kan terlalu berat memikul beban....

Kemungkinan perlu riset, apa rakyat Indonesia semakin taat gunakan helm atau gunakan masker, apa semakin takut karena kecelakaan jalan raya atau terjangkiti Corona? Walau sampai sekarang ini kenyataannya, angka korban kecelakaan masih semakin tinggi dibanding korban Corona.

Saat ini mulai disosialisasikan, buat yang tidak kenakan masker tidak dilayani. Isi bensin di SPBU tidak gunakan masker, tidak dilayani. Masuk kantor tidak gunakan masker tidak dilayani. Ke mall tidak gunakan masker, jangan masuk.

Untuk pengujung, perkenankanlah menyediakan komedi receh di bawah ini: 

Alkisah, ada 3 orang pengendara sepeda motor. Yang pertama, gunakan masker tetapi tidak gunakan helm. Yang ke-2, gunakan helm tetapi tidak gunakan masker. Yang ke-3, gunakan helm serta gunakan masker. 

Saat ke-3nya melalui bertepatan di jalan raya, karena itu yang ke-3 malah yang dirawat lebih dulu. Soalnya, yang ke-3 walau gunakan helm serta gunakan masker, tetapi tidak gunakan celana...

Jadi buat yang berasa ke mana-mana telah gunakan masker tetapi kok tidak dilayani , karena itu periksalah dahulu dengan cermat siapa tahu panjenengan tidak gunakan celana.....

Tulisan Tanganmu Jelek, Mampir Sini Kita Tertawa Bersama

- Tidak ada komentar




Tulisan Tanganmu Buruk? Singgah Sini Kita Ketawa Bersama-sama. 

Kapan kita mulai belajar menulis? SD, TK atau serta sampai SMP?

Oke tidak perlu dijawab, jawab dalam hati saja untuk bahan pertimbangan.

Tulisan tangan diklaim untuk representasi dari satu ciri-ciri manusia. Jika tulisan tangannya bagus sikapnya bagus, jika tulisan tangannya buruk bermakna sikapnya lebih baik lagi. Tetapi satu kali lagi itu masih asumsi saja. Toh saya masih seringkali menjumpai warga yang tidak dapat menulis tetapi ramaaaah pol. Umumnya yang semacam itu ialah mereka yang buta huruf ditambah lagi yang sekolahnya hanya alumnus SR (Sekolah Rakyat).

Lalu siapa di sini yang berasa tulisan tangannya buruk? Atau siapa yang sempat memperoleh ejekan dari rekan-rekan sebab tulisannya buruk? Atau yang semakin kronis siapa yang sempat memperoleh intimidasi akan suramnya hari esok sebab buruknnya tulisan tangan?

"Menulis wae ora iso, arep dadi opo?" [1] Kemungkinan semacam itu kalimatnya.

Yuk silahkan kumpul, kita buat paguyuban saja yuk? atau kita buat komune, kemungkinan dapat kita kasih nama komune penyintas Bad Hand Lettering Shaming. Dalam komune itu kita ketawa bersama -- bersama serta sama-sama tuliskan tulisan tangan yang sangat buruk. Tulisan yang terbanyak buruknnya, karena itu ia bisa menjadi koordinator penting komune ini.

Sesaat saya tertawa dahulu "ha ha ha."

Oke lanjut lagi, sampai di sini saya ingin narasi tentang kisah tulisan tangan saya yang benar-benar tidak mungkin untuk memperoleh predikat bagus. Untuk anak dari seorang Guru SD pasti jadi suatu hal yang cukup membuat malu bila anak seorang guru SD mempunyai tulisan tangan yang buruk

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

Alkisah perjalanan tulisan tangan saya diawali pada waktu saya masih SD, saat itu saya masuk SD pada usia 6 tahun yang tuturnya sich masih begitu awal untuk masuk SD. Akhirnya saya tetap telat dalam ikuti pelajaran, sempat satu saat beberapa siswa diharap untuk menyalin tulisan di papan catat pada pukul akhir, hasilnya sayalah yang sangat paling akhir keluar dari kelas, rupanya sayalah murid yang sangat lambat dalam soal menulis, oh tidak.

Semasa saya duduk di kursi SD, seringkali beberapa guru menjelaskan jika tulisan saya seperti cakar ayam, kecambah serta beberapa perumpamaan yang lain. 

Okelah waktu itu saya memang pernah meredam air mata sebab dihina oleh guru yang tuturnya digugu lan ditiru, tetapi sesudah saya dewasa saya malah membatin "asu tenan", tulisanku ki penuh gizi jebule, pikirkan satu tulisan dipertemukan dengan kecambah serta cakar ayam dimana sama-sama - sama memiliki kandungan protein. Duh gusti rupanya saya sempat se-lemah itu memperoleh ejekan, walau sebenarnya itu kan pujian.

Pasti kita masih ingat pelajaran menulis halus di kelas 2 SD, nah waktu itu tulisan saya di buku halus ialah tulisan paling buruk di kelas, akhirnya Ibu saya seringkali "memenjara"kan saya di rumah untuk belajar menulis halus, walau sebenarnya di halaman depan rumah saat itu banyak anak kecil main sepedaan, main kelereng serta ada pula yang bermain costplay rebutan ranger biru. Sedang saya masih belajar menulis sambil meredam tangis sebab tidak dapat ikut-ikutan bermain.

'Ibu ke Pasar', 'Andi Bermain Bola', kalimat sama diulangi terus-terusan sampai 1 halaman penuh. Memang satu saat tulisan tangan saya dipandang bagus oleh ibu saya, tetapi ujung-ujungnya kambuh lagi, tulisan saya buruk lagi, sayapun menangis tanpa ada air mata saat itu. Bukan menangis sebab tulisan buruk, tetapi sebab saya tidak dapat bermain dengan rekan-rekan saya.

Sudah tulisan buruk, waktu bermain menyusut serta rupanya kualitas tulisan tangan saya memang bergizi seperti cakar ayam serta kecambah/toge.

Sampai di dunia kerja, rupanya tulisan tangan saya masih not good, cercaan bersuara gurauan bukan sekali terlontar dari rekanan kerja saya. Untuk seorang Perawat, pekerjaan saya tuntut tanpa hari tanpa ada tulisan tangan, kawan-kawan apoteker lah yang seringkali mengkomplain tulisan saya yang 'sarat gizi' itu.

Tidak cuma sekali staff sisi farmasi itu menelpon di IGD (tempat saya berdinas) untuk pastikan tulisan tangan saya. Atas jelek ternyata tulisan tangan saya, mitra kerja saya sampai tidak meluluskan saya menulis lembar dokumen, saya cukup memberi therapy ke pasien saja (pasang infus, injeksi dll), kepentingan dokumentasi telah dicatat oleh mitra saya dengan cara komplet, rapi serta gampang dibaca.

Humor | Gelintir

- Tidak ada komentar



"Rasuli sedang duduk enjoy. Punggungnya rebah melekat di bangku plastik pelataran depan satu warung kopi. Pandangannya lurus ke depan. Seperti sedang pikirkan suatu hal," tutur Mukhson sekalian berpenampilan seperti seorang sutradara film tanpa ada naskah.

Katanya bersambung, "Telapak tangan kanannya menyokong beberapa dagu serta tutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."

"Kaki kiri menyokong kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Satu cangkir kopi tubruk temani. Tanpa ada penganan," katanya akhiri dengan suara percaya. Suaranya berwibawa seperti seorang calon sekretaris desa.

Itu beberapa kalimat pembuka yang sedang dilukiskan Mukhson. Sesudah berasa cukup percaya, selanjutnya ia memberikan sinyal jempol pada Rasuli. Mengisyaratkan adegan siang itu telah usai.

Rasuli menarik nafas lega. Berdiri dan meregangkan lebar ke-2 tangan. Seperti induk ayam yang sedang membuat perlindungan anak-anaknya. Pasti ia pegal. 

Nioma, putri sulung Mukhson memerhatikan semenjak awal. Ia demikian ketertarikan melihat ayahnya siap menolong. Ia mendapatkan pekerjaan dari sekolahnya. Pekerjaan dari guru bahasa Indonesia.

Pekerjaan yang cukup berat buat Mukhson. Ia berasa berat sebab telah bayar penuh uang sekolah anaknya itu. Kenapa masih disibukkan lagi? 

"Mana kata 'gelintir'nya bopo? Pekerjaannya harus mengikuti kata itu. Harus ada kata 'gelintir'...bopooo...," tutur Nioma menanyakan dengan suara seperti diseret-seret. Mukhson tidak pahami kenapa suara anaknya dapat semacam itu. Ia tidak menyenangi style bicara anaknya itu. 

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

"Naah..itu..itu pekerjaanmu. Jika sampai bopo isi kata itu, trus apa pekerjaanmu? Hayo kamu pikirkan sendiri ya..," sahut Mukhson seperti tidak mau anaknya terima beres.

Minimal harus ada usaha dari dianya. Demikianlah ia mendidik Nioma.

Mengetahui pekerjaan belum seutuhnya usai, Nioma selekasnya tinggalkan mereka berdua.

Mendekati sore, Nioma menjumpai ayahnya lagi. Menyerahlan hasil pekerjaannya. Rasuli tidak nampak. Ia telah pulang. 

"Ah..waktu bopo yang baca? Hayo kamu yang baca, bopo dengarkan..," tutur Mukhson suka pada akhirnya si anak dapat mengakhiri pekerjaan. Ia memang spesial memakai panggilan 'bopo' supaya kesan-kesan njawani masih singgah di telinganya. 

Nioma menarik nafas dalam-dalam. Pekerjaan dalam selembar kertas selekasnya dibaca. 

"Rasuli Gelintir sedang duduk enjoy. Punggungnya rebah melekat di bangku plastik pelataran depan satu warung kopi. Pandangan pak Rasuli Gelintir lurus ke depan. Seperti sedang pikirkan suatu hal," tutur Nioma dengan suara serta desakan kata semirip ayahnya. 
Ceritanya bersambung, "Telapak tangan kanan Pak Rasuli Gelintir menyokong beberapa dagu serta tutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."

"Kaki kiri menyokong kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Satu cangkir kopi tubruk temani Pak Rasuli Gelintir. Tanpa ada penganan," katanya akhiri dengan suara sewibawa si ayah. Tidak ada lagi style bicara yang menyeret-nyeret. Betul-betul musnah. 

Mukhson heran menyaksikkan anak yang benar-benar dicintainya itu. Isi kepalanya berkecamuk. Rasa suka, jengkel, susah, geram, bahagia, runyam bersatu jadi satu.

Belum genap Mukhson nikmati rasa isi kepalanya itu, mendadak saja Rasuli menepuk pundaknya.

"Wah..Son...kenapa namaku jadi panjang?"