More Categories

Cari Blog Ini

Gambar tema oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 20 Juni 2020

Humor | Gelintir




"Rasuli sedang duduk enjoy. Punggungnya rebah melekat di bangku plastik pelataran depan satu warung kopi. Pandangannya lurus ke depan. Seperti sedang pikirkan suatu hal," tutur Mukhson sekalian berpenampilan seperti seorang sutradara film tanpa ada naskah.

Katanya bersambung, "Telapak tangan kanannya menyokong beberapa dagu serta tutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."

"Kaki kiri menyokong kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Satu cangkir kopi tubruk temani. Tanpa ada penganan," katanya akhiri dengan suara percaya. Suaranya berwibawa seperti seorang calon sekretaris desa.

Itu beberapa kalimat pembuka yang sedang dilukiskan Mukhson. Sesudah berasa cukup percaya, selanjutnya ia memberikan sinyal jempol pada Rasuli. Mengisyaratkan adegan siang itu telah usai.

Rasuli menarik nafas lega. Berdiri dan meregangkan lebar ke-2 tangan. Seperti induk ayam yang sedang membuat perlindungan anak-anaknya. Pasti ia pegal. 

Nioma, putri sulung Mukhson memerhatikan semenjak awal. Ia demikian ketertarikan melihat ayahnya siap menolong. Ia mendapatkan pekerjaan dari sekolahnya. Pekerjaan dari guru bahasa Indonesia.

Pekerjaan yang cukup berat buat Mukhson. Ia berasa berat sebab telah bayar penuh uang sekolah anaknya itu. Kenapa masih disibukkan lagi? 

"Mana kata 'gelintir'nya bopo? Pekerjaannya harus mengikuti kata itu. Harus ada kata 'gelintir'...bopooo...," tutur Nioma menanyakan dengan suara seperti diseret-seret. Mukhson tidak pahami kenapa suara anaknya dapat semacam itu. Ia tidak menyenangi style bicara anaknya itu. 

Main Bola Online Pada Zaman Teknologi Sangat Menguntungkan

"Naah..itu..itu pekerjaanmu. Jika sampai bopo isi kata itu, trus apa pekerjaanmu? Hayo kamu pikirkan sendiri ya..," sahut Mukhson seperti tidak mau anaknya terima beres.

Minimal harus ada usaha dari dianya. Demikianlah ia mendidik Nioma.

Mengetahui pekerjaan belum seutuhnya usai, Nioma selekasnya tinggalkan mereka berdua.

Mendekati sore, Nioma menjumpai ayahnya lagi. Menyerahlan hasil pekerjaannya. Rasuli tidak nampak. Ia telah pulang. 

"Ah..waktu bopo yang baca? Hayo kamu yang baca, bopo dengarkan..," tutur Mukhson suka pada akhirnya si anak dapat mengakhiri pekerjaan. Ia memang spesial memakai panggilan 'bopo' supaya kesan-kesan njawani masih singgah di telinganya. 

Nioma menarik nafas dalam-dalam. Pekerjaan dalam selembar kertas selekasnya dibaca. 

"Rasuli Gelintir sedang duduk enjoy. Punggungnya rebah melekat di bangku plastik pelataran depan satu warung kopi. Pandangan pak Rasuli Gelintir lurus ke depan. Seperti sedang pikirkan suatu hal," tutur Nioma dengan suara serta desakan kata semirip ayahnya. 
Ceritanya bersambung, "Telapak tangan kanan Pak Rasuli Gelintir menyokong beberapa dagu serta tutupi pipi. Ketiak kanan mengapit tangan kiri."

"Kaki kiri menyokong kaki kanan. Pergelangan kaki kanan menggeleng. Menggelengkan telapak kaki kanan. Satu cangkir kopi tubruk temani Pak Rasuli Gelintir. Tanpa ada penganan," katanya akhiri dengan suara sewibawa si ayah. Tidak ada lagi style bicara yang menyeret-nyeret. Betul-betul musnah. 

Mukhson heran menyaksikkan anak yang benar-benar dicintainya itu. Isi kepalanya berkecamuk. Rasa suka, jengkel, susah, geram, bahagia, runyam bersatu jadi satu.

Belum genap Mukhson nikmati rasa isi kepalanya itu, mendadak saja Rasuli menepuk pundaknya.

"Wah..Son...kenapa namaku jadi panjang?"

0 on: "Humor | Gelintir"